Polarisasi Opini dan Mekanisme Perpecahan Bangsa


Bicara mengenai keramaian di medsos tentang berbagai isu tidak akan pernah ada habisnya. Mudah sekali melihat postingan saling hujat, permusuhan, gosip, kecemburuan dan hal hal negatif lainnya terlontar. Menjelang Pemilu 2019, situasi ini menjadi lebih tidak karuan, bahkan makin kompleks. Kalau kita mengikuti alur opini yang ada tentu akan sangat menghabiskan waktu dan tenaga. Saya pernah share di entry ini mengenai bagaimana seharusnya kita bersikap. Saya tulis bukan berarti kita harus ignorant, akan tetapi saya menyarankan untuk memahami kelompok yang mempunyai pendapat berlawanan dengan kita atau kelompok kita. Sebelum kita menceburkan diri dalam suatu kelompok/opini yang ada, ada baiknya kita juga pahami kelompok lawan. 

Pada saat saya kuliah S2 di Prancis, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Prancis, akibatnya saya cukup kerepotan memahami percakapan sehari hari. Secara tidak langsung, terbentuk kelompok pertemanan diantara temen kuliah, yaitu kelompok berbahasa native , dan kelompok mahasiswa asing yang bahasa Prancisnya pas pasan. Pembentukan kelompok secara natural ini disebut sebagai Homophily dalam metode jejasing sosial ( Social Network Analysis ). Singkat kata jurang pembeda antara kami mahasiswa asing dan mahasiswa lokal menjadi semakin jauh waktu itu, karena komunikasi kami yang tidak lancar (dan cukup merepotkan / perlu usaha besar)

Homophilly terjadi karena persamaan hobi, bahasa, budaya, dan motif lainnya. Contoh lebih mudah disekitar kita adalah contoh orang jawa dan orang sunda. Guyonan orang jawa akan terasa lucu bagi orang jawa, jika diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia jadi ga lucu, apalagi ke dalam bahasa sunda. Makanya kalo orang jawa bikin guyonan, yang ketawa hanya orang jawa. Demikian pula dengan orang sunda. Perbedaan bahasa dan budaya ini membuat orang jawa lebih suka berkumpul dengan orang jawa, demikian juga dengan orang sunda. Sangat sedikit jejaring sosial berbentuk Heterophilly (lawan Homophily).

Kembali ke medsos, saat ini analogi Homophily sedang terjadi, banyak diantara kita yang tidak setuju opini teman kita, maka dengan mudah melakukan unfriend, kita hanya menerima pertemanan dari orang orang yang seide dengan kita. Akibatnya opini akan bergaung (amplify) di dalam kelompoknya sendiri. Sementara diseberang sana kelompok lawan juga mengalami hal yang sama. Jurang opini antar kelompok semakin besar, sehingga membahayakan persatuan organisasi (termasuk negara). Saya amati jika seseorang sudah punya opini, maka yang dilakukan adalah mencari persetujuan diantara lingkungan sosialnya akan opininya tersebut. Ini disebut sebagai predefined opinion. Orang orang dengan predefined opinion umumnya sudah sulit diubah opininya. Oleh kerena sebenarnya adu argumentasi di medsos dengan tujuan merubah pandangan orang lain menurut saya sia sia saja.

Gambar berikut ini contoh visualisasi Homophily pada studi anak anak SMP di Amerika, yaitu pertemanan antara anak anak kulit putih dan kulit hitam dan berwarna lainnya. Terlihat polarisasi pengelompokan antara dua kubu. Hal ini menunjukkan Homophily adalah fenomena umum. Gambar diambil dari buku Newman (Network: An Introduction).

Screen Shot 2018 02 26 at 18 40 07  2

Terus solusinya gimana dong. Ide saya sih adalah bagaimanapun perilaku jaringan adalah agregasi dari perilaku individu, jadi edukasi / literasi tentang bahaya perpecahan ini layak diberikan. Dengan pemahaman tersebut, maka saya yakin polarisasi yang ekstrim tidak akan terbentuk. Terdengar mudah yah, padahal susah prakteknya … ya saya tahu .. memang susah mencari solusi mudah supaya tidak terjadi perpecahan bangsa. Cara lain yah dari tokoh atau pemimpin kelompok supaya meredam jurang pemisah antar kelompok. 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *